Welcome to the Unordinary Writings.

These ain't just about writing...

Rabu, 10 Agustus 2011

UKURAN KEBAHAGIAAN




     Bahagia. Adalah kata yang diharapkan oleh seluruh manusia di muka bumi. Menjadi bahagia, adalah hal yang begitu diinginkan setiap orang untuk terjadi di dalam hidupnya. Memang siapa sih yang tidak ingin bahagia??? :)

     Lalu apakah yang menjadi takaran kebahagiaan itu? Apakah harta yang melimpah? Atau makanan yang enak? Atau naik pangkat, gaji besar, dan menjadi orang terkenal dan berjasa? Ataukah hidup bersama orang yang dicintai? Atau mungkin juga memberi bisa menjadi takaran kebahagiaan? Kalau ditanya satu per satu, jelaslah akan menjadi sangat banyak hal yang bisa dijadikan takaran kebahagiaan karena setiap orang memiliki keinginannya masing-masing.


      Bagiku, bahagia itu pilihan, bahagia itu relatif. Sejauh mana kamu mampu bersyukur atas semua hal yang ada atau atas segala peristiwa yang terjadi di hidupmu, di situlah letak ukuran kebahagiaan.

     Aku pernah membaca sebuah cerita bijak di sebuah buku.
 
     Dikisahkan ada seorang petani miskin yang bekerja sangat keras untuk menghidupi istri dan kelima orang anaknya. Suatu hari, ketika dia sedang mencangkul sawahnya, tak disangka-sangka dia menemukan sebuah patung arahat yang terbuat dari emas. Konon katanya patung arahat itu berjumlah 10 buah. Akhirnya dia membawa pulang patung emas itu. Begitu keluarganya melihat dan mendengar cerita dari sang ayah, mereka bersorak kegirangan.
     "Syukurlah, kita ini benar-benar beruntung", kata sang ibu.
     "Iya, Bu, kita sungguh tertolong, kita bisa menjualnya dan uangnya bisa kita gunakan untuk sehari-hari dan lainnya kita simpan", usul anak yang pertama.
Anak-anak yang lain mengiyakan dengan muka yang berseri-seri, mereka sungguh merasa bahagia. Namun begitu melihat raut wajah sang bapak yang masih murung, mereka pun menjadi heran dan bertanya-tanya.
     "Mengapa kau malah murung, Pak, dengan rejeki sebesar ini?" tanya sang ibu.
Sang bapak menjawab, "Aku tidak tau bagaimana untuk menemukan kesembilan patung arahat yang lain."
     Gubrag. ><

      Yang lebih nyata, aku akan men-share-kan salah satu pengalaman hidup yang pernah aku alami.
     Setelah lulus SMA, aku begitu kecewa karena orang tuaku tidak mampu membiayai aku untuk melanjutkan kuliah dikarenakan bisnis colapse. Aku benar-benar ingin marah dan melampiaskan kekecewanku pada saat itu, tapi tidak tau pada siapa karena di samping itu, aku pun merasa kasihan kepada kedua orang tuaku. Dan aku berusaha mengerti (walaupun masih dalam keadaan kesal), bahkan beasiswa dari sebuah institut perguruan tinggi aku tolak, selain karena tidak ada biaya untuk kehidupan sehari-hari di sana nanti, aku juga ingin membantu orang tuaku sampai bisnisnya kembali berdiri.  Bahkan pernah terlintas dalam otakku, menyesal dengan keadaan yang seperti ini. Merasa ingin terus mengeluh.
     Selama ikut dengan orang tuaku, aku membantu bisnis makanan mereka sebisanya. Aku sempat  menumpang berjualan kue buatan orang tuaku di pinggir jalan di depan sebuah sekolah bersama seorang wanita yang sudah kenal dekat dengan orang tuaku. Dia berjualan alat tulis. Aku bahkan sempat merasa malu melakukan pekerjaan seperti ini.
     Sampai suatu hari, wanita itu menawariku untuk mencoba menjadi guru les privat. Aku merasa tertarik untuk mencobanya. Akhirnya dia 'menawar-nawarkan' aku kepada orang tua murid. Awalnya memang hanya 1-2 murid, tapi lama kelamaan semakin berkembang karena berita menyebar dari mulut ke mulut (biasa, ibu-ibu :p).
     Aku merasa sangat bersyukur kini, karena selain aku bisa membantu perekonomian keluargaku walaupun sedikit-sedikit, aku juga bisa memenuhi kebutuhanku sendiri. Dan kini, aku hanya perlu menabung  untuk kuliah nanti, sambil bekerja, dan juga tetap membantu orang tuaku. Terlebih lagi, aku jadi bisa menentukan dengan pasti tujuan kuliahku nanti, mengingat banyak teman-temanku yang mengeluh karena jurusan tidak sesuai, atau pekerjaan yang didapat tidak sesuai dengan uang yang telah dihabiskan semasa bangku kuliah, atau kuliah yang menjadi  malas-malasan, dan lain-lain.
     Aku bersyukur atas semua kejadian yang telah aku alami, karena telah memberiku banyak pelajaran hidup. Tanpa adanya hal itu (bisnis orang tua yang collapse, belum bisa melanjutkan kuliah, berjualan di pinggir jalan), sekarang aku pasti masih menjadi pribadi yang lemah dan tergantungan, bahkan mungkin, manja. Dan aku bahagia karena semua hal yang telah mampu aku lewati itu. Ketika seorang temanku berkata begini kepadaku,"Hebat ya kamu, sekarang udah bisa cari duit sendiri, nggak kayak aku yang masih nodong," aku mampu tersenyum lebar.
     Jika suatu ketika seseorang mencelamu karena pekerjaan yang kamu geluti, dan pekerjaan yang kamu peroleh itu adalah hasil kerja kerasmu, tetaplah bersyukur. Karena dia tidak pernah tau seberapa keras perjuanganmu melewati banyak rintangan hingga mampu bertahan, bahkan belum pasti dia lebih 'hebat' darimu. :)

  
     Pernah ada seorang teman yang menyanggah pendapatku tentang 'kebahagiaan terukur dari rasa syukur' ini, dia berkata kepadaku seperti ini, "Menurutku rahasia kebahagiaan adalah memberi". Aku tidak menyalahkannya kok, namanya juga pendapat. Lalu aku berkata kepadanya ,"Jika kamu memberi dan kamu bersyukur karena kamu mampu membagi kebahagiaanmu kepada orang lain, maka bahagialah kamu. Tapi jika kamu memberi. namun kamu tidak merasa bersyukur karena mampu memberi (tidak ikhlas lah kasarannya), maka sebanyak apapun kamu memberi, kamu tidak akan bahagia." Terkandung rasa syukur kan di dalamnya? :)

     Ada juga yang pernah berkata begini di sebuah jejaring sosial, "Bo'ong banget kalo jomblo bisa bahagia", atau "Sedih banget nieh jomblo, habis diputusin, nggak ada yang nemenin, nggak ada yang diajak berbagi hati", dan lain-lain semacamnya. Menurutku tidak juga tuh. Memang dengan menemukan seorang pujaan hati saja bisa menjamin kebahagiaan? Seseorang yang belum 'bertemu' dengan cinta sejatinya pun bisa bahagia kok. Tergantung dari apakah dia bisa mensyukuri karena masih memiliki teman-teman yang selalu bisa membawa keceriaan, masih memiliki keluarga (setidaknya orang yang dianggap keluarga) yang selalu bisa membawa kehangatan, masih ada orang-orang di sekelilingnya yang mengasihinya, atau tidak. Bersyukur kan? Memiliki seorang kekasih pun apabila kita tidak bersyukur dan bisa menerima apa adanya, bukan bahagia yang akan didapat. Tapi ketidakpuasan sehingga bisa menyebabkan hal-hal yang menyimpang. Contoh simpel deh : selingkuh. :p

     Atau banyak juga 'kasus-kasus' dalam kehidupan sehari-hari. Merasa marah karena tidak dibelikan sepatu yang modelnya paling baru, padahal di sana ada anak-anak yang hanya dengan mendapat sepatu bekas dari hasil mengais-ngais saja sudah senangnya bukan main. Merasa kecewa karena makanan yang dihidangkan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, padahal di sana masih ada orang yang kelaparan, baru bisa makan setelah mendapat uang dari hasil keringatnya dan merasa senang walaupun hanya bisa makan satu bungkus nasi bungkus setiap harinya. Merasa jengkel karena banyak sekali tugas dari guru/dosen bahkan sampai membolos, padahal di sana masih banyak anak yang mau sekolah/kuliah saja harus mencari biaya sendiri namun tetap menjalankan sekolahnya dengan baik. Merasa kesal karena di rumah diperlakukan seperti pembantu (termakan pemikiran dan perasaan sendiri), atau merasa tidak bebas karena dilarang-larang atau banyak peraturan dari orang tua (padahal mungkin maksudnya mengingatkan karena khawatir), padahal di sana banyak anak yang tersesat hidupnya karena kurang kasih sayang dan kurang perhatian dari orang tua atau keluarganya, atau bahkan malah ada yang mengharapkan bisa memiliki orang tua atau keluarga. Dan masih banyak hal-hal lain yang simpel dan masih sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Mengandung syukur juga kan?

     Sebelum mulai mengeluh tentang 'mengapa aku tidak bahagia', rasakanlah dengan hati yang jernih terlebih dahulu, pikirkanlah dengan otak yang dingin terlebih dahulu.  Benarkah itu  semua karena orang lain atau hal di sekitarku? Atau memang karena diriku yang belum mampu bersyukur?

      Bersyukur bukan berarti lantas 'pasrah penuh tanpa usaha'. Syukur itu adalah untuk hari ini dan kemarin. Syukur atas semua hal yang telah kamu alami sehingga bisa memberikan pelajaran, syukur atas semua hal yang ada dalam sepanjang kamu menjalani hidup sehingga kamu merasa tidak sendiri, syukur atas apa yang telah kamu miliki sehingga membuat kamu merasa terbantu. Tapi untuk hari esok, setelah syukur atas hari yang baru, kita tetaplah harus berusaha sebaik-baiknya untuk hidup kita dan kemudian bersyukur kembali atas hasil/hal yang diperoleh. Hari esok tetaplah harus lebih baik dari hari ini. :)

     Aku tahu, tidak mungkinlah setiap manusia mampu sesempurna itu, selalu bersyukur. Ada kalanya juga manusia akan jatuh ke dalam emosi (emosi tidak selalu berhubungan dengan marah lho) dan itu manusiawi sehingga membuatnya lupa untuk bersyukur. Namun dengan cukup mengingatnya atau menyadarinya saja, akan membuat kita cukup mengerti bahwa kebahagiaan itu dapat dicapai tergantung sejauh mana kita mampu bersyukur. Seperti yang aku tuliskan di awal, bahagia itu pilihan, bahagia itu relatif. Kita bisa menjadi bahagia atau tidak bahagia itu adalah tergantung dari cara kita menyikapi semua hal yang terjadi, semua hal yang ada dalam hidup kita. Pilihan kitalah untuk mau bersyukur atau tidak, menjadi bahagia atau tidak. :)





By : Ellean "J"