Welcome to the Unordinary Writings.

These ain't just about writing...

Kamis, 06 Februari 2014

BLAME NO ONE !




     Suatu ketika, aku membaca berita di sosial media tentang perkosaan terhadap seorang wanita. Yang menjadi keherananku adalah celetukan-celetukan di kolom komentar yang mengatakan 'salah sendiri pakai baju seksi' (karena kebetulan demikian situasinya). Lalu aku berpikir, bagaimana dengan kasus-kasus perkosaan jika yang diperkosa adalah seorang wanita yang berpakaian tertutup? Seorang anak di bawah umur? Seekor hewan?

     Di lain waktu, aku membaca lagi berita tentang perampokan/pencurian. 'Suka pamer sih', ada yang berkomentar demikian. Tapi bagaimana dengan kasus perampokan bank, pencurian di toko emas, pembobolan rumah ketika penghuninya sedang tidak ada?

     Lalu ada lagi, demonstrasi vandalisme menuntut pembatalan konser artis mancanegara, yang dianggap akan merusak moral generasi penerus bangsa. Well, setahun lebih pasca pembatalan tersebut, aku tidak melihat sedikitpun ada penurunan kasus amoral di sini. Peningkatan? Jelas.

     Masih banyak lagi kasus atau peristiwa-peristiwa di sekitar kita yang secara tidak sadar telah membuat dalih-dalih yang kita lontarkan itu hanya membuktikan bahwa kita terlalu mudah menyalahkan pihak lain atas penyimpangan yang kita lakukan. Bangun kesiangan, menyalahkan orang lain yang tidak membangunkan. Lupa mengerjakan tugas, memarahi teman yang mengajak bermain terlalu lama. Kebiasaan mabuk-mabukan, mengkambinghitamkan lingkungan di mana dia hidup. Banjir, menyindir gubernur. Seolah-olah, hidup kita ini kok orang lain yang atur, yang mengambilkan keputusan, sehingga kita tidak punya kendali atas hidup/kebiasaan/keputusan kita sendiri.

     Kita lupa satu hal, seperti lagu Ebiet, '...tengoklah ke dalam sebelum bicara...'. Kita lupa, bahwa kitalah berkuasa penuh atas pilihan-pilihan yang ada dalam hidup kita. Mau memperkosa atau mengendalikan nafsu. Mau merampok atau bekerja. Mau ikut-ikutan atau cukup menikmati karya seni. Mau mabuk-mabukan atau hidup sehat. Mau buang sampah di tempatnya atau menghadapi banjir. Mau mencontek atau jujur. Mau marah membabi buta atau mengendalikan diri. Mau bertanggung jawab atau lari. Kita selalu dihadapkan oleh pilihan-pilihan itu. Setiap hari, setiap waktu. Dan kita pulalah yang memutuskan akan menuruti pilihan yang mana. Mengapa ketika ke-gap terjadi penyimpangan, bisa-bisanya kita menyalahkan orang lain, padahal kita sendirilah yang memilih keputusan itu? Bagaimana bisa memaksa orang lain bertanggung jawab atas risiko dari kesalahan yang kita lakukan?

     Semoga ilustrasi berikut bisa membantu.



     Raja Louis telah digulingkan dari tahtanya dan dipenjara. Puteranya yang masih muda, sang pangeran, dibawa oleh mereka yang menggulingkan ayahnya. Mereka pikir, karena pangeran adalah putra mahkota, kalau mereka bisa menghancurkannya secara moral, ia takkan pernah mencapai takdir agung yang sebenarnya dianugerahkan kepadanya.

     Mereka bawa dia ke suatu komunitas yang jauh, dan di sana, mereka perlihatkan segala hal yang kotor dan memalukan kepada sang pangeran. Mereka hadapkan dia pada makanan yang akan membuatnya segera diperbudak oleh selera makan. Didekatnya, mereka selalu menggunakan kata-kata yang memalukan. Mereka hadapkan dia pada hawa nafsu dan wanita pelacur. Mereka hadapkan dia pada sikap tidak hormat dan tidak percaya. Dua puluh empat jam setiap harinya ia dikelilingi oleh segala hal yang  dapat menyeret jiwa seorang pria serendah-rendahnya. Selama lebih dar enam bulan ia diperlakukan demikian - tetapi tidak sekalipun pangeran ini takluk pada tekanan.

     Akhirnya, setelah percobaan yang intensif, mereka menanyai dia. Mengapa ia tidak takluk pada semuanya itu - mengapa ia tidak ikut-ikutan? Semuanya itu kan akan memberinya kesenangan, memuaskan hawa nafsunya, dan mengundang; semuanya bisa ia miliki. Kata pemuda ini,"Saya tidak bisa melakukan apa yang kamu minta, karena saya dilahirkan untuk menjadi seorang raja".

(Dikutip dari The 7 Habits of Highly Effective Teens)
     Moral, hati, pikiran, itu adalah private zone, di mana kita yang mengambil keputusan atas pilihan-pilihan yang dihadapkan pada diri kita, atas hidup kita. Tidak bisa diwakilkan. Jika pilihan kita dipengaruhi oleh orang lain, bukanlah salah orang  tersebut, salah diri kitalah yang memilih menyerahkan kendali hidup kita padanya.
     "Well, aku berhak melototin dong, dia pake baju seksi. Mata-mataku ini."
     "Emang salah dia kok, sibuk banget. Bukan salahku dong kalau aku selingkuh!"
     "Hidup di lingkungan kayak gini, mana bisa ga ikut-ikutan. Gak tahan godaan gue."

     Jika kamu memilih menjadi mutiara, dibenamkan dalam lumpur pun kamu tetaplah mutiara. Jika kamu memilih menjadi kerikil, direndam dalam air susu pun kamu tetaplah kerikil. Kita terlalu terfokus pada, hidup bisa saja membentuk kita. Kita terlalu sering lupa, bahwa kitalah yang seharusnya membentuk hidup. Berhentilah menyalahkan pihak lain atas keputusan yang sejatinya kita ambil sendiri. It's useless, hanya akan semakin menenggelamkan kita pada jiwa yang gemar lari dari tanggung jawab.

     Pada akhirnya, semua kembali pada mampukah kita memegang kendali atas hidup kita?





by : Ellean 'J'