Welcome to the Unordinary Writings.

These ain't just about writing...

Sabtu, 08 Juni 2013

MENERIMA APA ADANYA?



"Aku menerima kamu apa adanya."



      Kalimat yang pastinya sudah tidak asing lagi bagi kita. Entah itu diucapkan oleh dua sejoli, sahabat, keluarga, orang tua, dan sebagainya yang tentu saja kita kasihi atau mengasihi kita. Menyenangkan dan melegakan sekali, ya, rasanya ketika kita mendengar kata-kata hangat tersebut ditujukan kepada kita, atau sebaliknya, ketika kita mampu mengatakan hal tersebut kepada orang lain. :)

     Tapi tahukah, kawan, hal yang sering luput dari pertimbangan kita? Jika tanpa pengertian yang benar, bukannya menjadi penyemangat, tapi kata-kata tersebut justru bisa menjadi boomerang.

     Seringkali demi mengatakan kalimat tersebut, kita mengabaikan atau bahkan tidak memahami, bahwa terdapat perbedaan yang besar antara kelemahan/kekurangan dengan kebiasaan buruk. Memang, aku sendiri sulit membedakannya secara definisi, tapi secara sosial, aku yakin kita semua sebenarnya paham, hanya saja terkadang karena kita tidak terlalu ambil pusing, kedua hal tersebut seolah-olah berasimilasi.

      Baik si pembicara, maupun si penerima, tidak jarang melakukan kesalahan pemahaman ini. Sehingga kata-kata berikutlah yang tercipta dari kedua pihak, "Namanya juga sudah cinta", atau "Dari dulu aku sudah begini", dan sebagainya.

     Kondisi seperti bagaimana sih, kita bisa menyatakan 'aku menerima kamu apa adanya'? Sampai pada saat ini, yang aku dapati sebagai contoh kekurangan adalah seperti pada orang-orang yang (maaf) berkebutuhan khusus atau cacat (catatan : bahkan, kawan, jika kita melihat, seringkali orang yg kekurangan seperti mereka ini, lebih bersyukur padaNYA, sehingga merasa cukup. Mungkin kekurangan itu tidak benar-benar ada tergantung dari diri kita). Barulah kita bisa menyatakan ungkapan itu, entah dalam sebuah hubungan persahabatan, keluarga, kekasih, dan lain-lain. Sehingga mereka bisa merasa lebih percaya diri dan lebih kuat untuk melanjutkan dan menjalani kehidupan sosial.

      Lalu bagaimana kondisi yang tidak tepat dimana seringkali kita menganggap kebiasaan buruk sebagai kelemahan?

     Misalkan saja, aku mempunyai kekasih seorang pemabuk. Apakah karena saking cintanya, aku begitu saja membiarkan dia terus-menerus mempertahankan kebiasaan itu dengan berkata 'aku menerima kamu apa adanya kok'? Tidak menasihati? Lalu dari pihak kekasih berpikir, 'inilah aku apa adanya sayang', sehinggga tidak mau berubah? Mengapa tidak mencoba think BIG (bukan iklan ya :D), andai aku membiarkan dia (atau dia membiarkan dirinya) mabuk-mabukan begitu, bukankah akan makin menjerumuskan dia, makin meracuni dia, makin membuat dia terpuruk? Beginikah yang dibilang cinta itu? Tidak! Itu alat pembunuh.

     Andaikan ada seorang ibu, begitu mengasihi anaknya yang malas-malasan, sehingga minta ini dibelikan, minta itu dipenuhi, tidak beribadah dibiarkan, takut anaknya kalau nantinya bekerja bisa lelah, bisa sakit, benarkah itu yang dimaksud menerima apa adanya? Itukah yang dibilang kasih? Tidak! Itu racun. Bukan begitu cara mengasihi. Alih-alih mengasihi, bukankah nantinya anak itu akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, tidak bisa bersosialisasi, dan ketergantungan?

     Itu hanya sebagian contoh kecil. Sering berbicara kasar, sering menyelesaikan persoalan dengan berkelahi, sering melakukan kekerasan, suka menghina, kemalasan, dan lain sebagainya, semua itu hal yang masih bisa diubah menjadi lebih baik kok. Lalu mengapa lebih memilih mentok dengan (kesalahpahaman) kata-kata 'menerima apa adanya'? Jika kita menyatakan diri 'ah, jadi diri sendiri aja kali', dengan pengertian bahwa apa adanya adalah mempertahankan kebiasaan buruk, selamat! Kamu tinggal selangkah lagi menuju jurang keterpurukan. Kita semua pasti menyadari, bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya baik. Tapi kita pun pasti tau, bahwa semua orang bisa tetap menjadi diri sendiri meski dalam fase berubah menjadi lebih baik

      Kata-kata 'menerima apa adanya' itu memang melegakan ketika diungkapkan di awal sebuah hubungan. Bisa membawa kepercayaan diri bagi si pendengar. Akan tetapi, dengan semakin dewasanya pemikiran dan perasaan kita, dengan semakin mengenal, kita akan memahami bahwa kita tidak bisa selamanya mempertahankan kebiasaan buruk dengan ungkapan 'menerima apa adanya'. Mengapa tidak kita belajar berubah menjadi lebih baik sembari memahami menerima apa adanya sebagai hal yang dinamis?


Yuk, kita sama-sama belajar. ^^





by : Ellean 'J'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar